Jumhur ulama menegaskan bahwa shalat hied (hari raya) tidak bisa menggantikan shalat jumat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii, serta kalangan Zhahiri. Hanya saja Imam Syafii memberikan kelonggaran kepada mereka yang telah melakukan shalat ied yang tinggal di pelosok (tempat yang jauh) untuk tidak menghadiri shalat jumat.
Adapun Imam Ahmad berpandangan bahwa kewajiban shalat jumat menjadi gugur atas mereka yang telah melaksanakan shalat ied kecuali bagi Imam ketika ada jamaah ingin melaksanakannya agar masjid tidak kosong dari shalat jumat.
Pandangan jumhur di atas yang mengatakan bahwa shalat ied tidak bisa digantikan oleh shalat ied didasarkan pada dalil Alquran pada surat al-Jumuah yang secara umum mewajibkan pelaksanaan jumat tanpa dan lsejumlah dalil lain yang melarang untuk meninggalkannya tanpa udzur. Bahkan pada masa Rasulullah saw pernah ied jatuh pada hari jumat, dan Rasulullah saw melaksanakan keduanya bersama sahabat tanpa menyebutkan rukhsah (kelonggaran) untuk meninggalkannya. Ini seperti yang disebutkan dalam hadits sahih dari Nu'man ibn Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat ied dan jumat membaca surat al-A'la dan al-Ghasyiyah dan ketika hari ied jatuh pada hari jumat beliau juga membaca keduanya pada kedua shalat tersebut (HR Muslim).
Mereka berpandangan bahwa shalat jumat jumat hukumnya wajib sehingga tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan dalil yang shahih. sementara sejumlah riwayat yang membolehkan untuk meninggalkannya ketika berkumpul dengan hari raya tidak bisa dijadikan dalil. Hal itu karena riwayatnya lemah atau isinya tidak secara eksplisit menegaskan bahwa shalat jumat boleh ditinggalkan ketika jatuh pada hari ied.
Demikian pandangan sejumlah ulama.
Sementara terkait dengan shalat jumat, syarat sahnya shalat jum’at adalah dilakukan dengan berjama’ah. Semua ulama’ sepakat mengenai hal itu. karena seruan shalat jumat yang ada dalam ayat tersebut menggunakan kata jama'. Namun yang menjadi perbedaan pandangan adalah berapa jumlah jama’ah untuk sahnya shalat jumat?.
Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat jum’at sah dilakukan minimal tiga orang selain dari imam (empat orang termasuk imam). Alasannya adalah karena arti jama’ yang benar adalah tiga keatas / minimal tiga. Hal ini karena firman Allah yang berbunyi ”fas’au ilaa dzikrillah” menggunakan khitab / panggilan untuk jama’ah, dan jum’at sendiri adalah bagian dari pecahan kata jama’ah / banyak. dengan demikian, karena jama’ artinya adalah minimal tiga, maka jumlah jama’ah jum’at minimal terdiri dari tiga orang.
Adapun Imam Malik, berpendapat bahwa shalat jumat harus dihadiri paling tidak dua belas orang, pada waktu khutbah dan shalatnya. Hal ini didasari oleh satu riwayat dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw suatu ketika sedang menyampaikan khutbah jum’at, tiba-tiba datang kafilah dagang (unta denga segala dagangan yang diatas punggungnya) dari negeri Syam, maka orang-orang (jama’ah shalat jum’at) pergi mendatangi rombongan kafilah dagang itu, dan hanya tersisa dua belas orang saja, maka turunlah firman Allah Surat al-Jumuah ini. Dan imam malik mensyaratkan, bahwa jumlah dua belas orang itu adalah penduduk setempat, bukan musafir yang singgah. Dan disyaratkan pula keberadaan dua belas orang ini harus sejak awal khutbah sampai salam / selesai shalat.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa shalat jumat harus dihadiri minimal empat puluh orang termasuk imam, dari penduduk setempat. Jika kurang dari empat puluh, maka tidak sah dilakukan shalat jumat. Pendapat ini didasari dengan adanya satu riwayat yang menyebutkan bahwa shalat jumat pertama kali yang dilakukan di Madinah, dihadiri oleh empat puluh orang. Demikian juga yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Saw menjama’ shalat di Madinah, dan jumlah kaum muslimin sebanyak empat puluh orang.
Itulah pendapat-pendapat ulama’ yang menjelaskan tentang masalah jumlah jama’ah shalat jum’at. Mereka telah melakukan yang terbaik sebagai seorang ulama’ yang bertugas untuk melakukan ijtihad, usaha sungguh-sungguh menggali hukum, dan menjelaskan nya kepada umat. Dan setiap mereka insya-Allah telah mendapatkan pahalanya disisi Allah Swt.
Dari pandangan-pandangan di atas, bisa dikatakan, bahwa semua sepakata bahwa shalat jum’at memang menuntut adanya jama’ah, artinya tidak sah shalat jumat dilakukan dengan sendirian, namun makna jama’ah itu sendiri yang paling tepat adalah kembali kepada ’urf / kebiasaan. kebiasaan dimana komunitas kaum muslimin disuatu tempat melakukan shalat jum’at, atau disuatu daerah dimana seseorang berkumpul untuk melakukan shalat jumat dan layak untuk disebut sebagai sebuah jama’ah shalat jumat. Jika hal itu terlaksana, terlepas dari berapa jumlah mereka, maka shalat jum'at itu telah terlaksana dengan sah
Sumber :
http://syariahonline.com/v2/shalat/hukumnya-shalat-jumat-ketika-hari-raya-idul-fitri-jatuh-pada-hari-jumat-